MEMBERDAYAKAN SENI BUDAYA MELALUI PENDIDIKAN UNTUK MEMBANGUN PEKERTI BANGSA
Pendahuluan
Bicara tentang pembangunan pekerti sebuah bangsa akan senatiasa melibatkan tata nilai sosiokultural masyarakat-bangsa. Artinya pembangunan selain berorientasi pada manusia sebagai subyek pembangunan, human oriented development, juga merupakan pemberdayaan nilai budaya masyarakat-bangsa itu sendiri. Capaian dari pembangunan dan pemberdayaan semacam itu dapat berimplikasi terhadap proses pembentukan good governance dan masyarakat yang lebih demokratis. Untuk menuju pada capaian tersebut salah satu wahana dapat ditempuh melalui jagat pendidikan – khususnya pendidikan seni budaya.
Nusantara, bangsa ini sangat kaya ragam dan jenisnya seni budaya dengan bentuk (wujud) penampilannya baik seni tari, rupa, musik, dan teater. Sebut saja beragam wujud wayang, kethoprak, ludruk, saman, rodat, tayub, tor-tor, dan sebagainya. Semua bentuk dan jenis seni budaya seperti itu memuat nilai-nilai kearifan lokal yang tak terbantahkan. Dalam seni budaya budaya kita yang komunal merefleksikan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, penghormatan, ketaatan, dan lain-lain. Persoalannya adalah banyak jenis seni budaya budaya kurang memperoleh kepedulian yang memadai sehingga tidak sedikit seni budaya yang punah, hidup segan hidup mati tak mau, bahkan terlindas oleh seni budaya pop yang instan. Oleh karena itu upaya revitalisasi seni budaya menjadi sangat urgen dilakukan. Sebab menjaga keutuhan budaya bukanlah suatu tindakan sentimentalitas, bukan tindakan nostalgia, melainkan lebih merupakan tindakan manusia untuk menjaga integritas peradaban itu sendiri, jati diri.
Berdasarkan fenomena di atas dalam makalah ini akan diulas tentang pemberdayaan seni budaya melalui pendidikan seni budaya atau pendidikan seni yang berbasis budaya.
Pendidikan Seni Budaya.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju pribadi yang mandiri untuk membangun dirinya sendiri maupun masyarakatnya. Pendidikan juga dapat dipandang sebagai upaya untuk membantu manusia ‘menjadi apa’ yang bisa diperbuat dan ‘bagaimana harus menjadi atau berada’. Oleh karena itu pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakekat manusia. Jagat pendidikan harus memuat adanya ‘pendidikan nilai’ yakni suatu proses pembudayaan yang selalu berusaha meningkatkan harkat dan martabat manusia – pendidikan memanusiakan manusia, pendidikan humaniora (Jazuli, 2008). Pendidikan nilai merupakan suatu aktivitas yang secara khusus bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai tertentu, seperti nilai religius (pendidikan agama), nilai moral (pendidikan kewarganegaraan), dan nilai estetik (pendidikan seni budaya). Dengan demikian pendidikan nilai harus menjadi bagian integral (bult in) yang berperan sentral dalam jagat pendidikan.
Pendidikan seni budaya pada hakekat adalah suatu proses kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan nilai-nilai budaya yang bermakna di dalam diri manusia melalui pembelajaran seni budaya. Nilai-nilai yang dimaksud berkaitan dengan pengembangan imajinasi, intuisi, pikiran, kreativitas, dan kepekaan rasa; Kata ‘bermakna’ terkait dengan ‘kearifan’ dalam menyikapi hidup dan kehidupan agar lebih berarti dan bermanfaat bagi sesama dan lingkungannya. Untuk mencapai kearifan diperlukan persyaratan, di antaranya adalah pengetahuan yang luas (to be learned), kecerdikan (smartness), akal sehat (common sense), mengenali inti yang dipahami (insight), bersikap hati-hati (discreet), pemahaman norma dan kebenaran, dan kemampuan mencerna (to digest) pengalaman hidup (Buchori, 2000). Implikasi dari nilai-nilai bermakna adalah berwatak mulia dan berbudi luhur, bersikap jujur, rendah hati, disiplin, setia, terbuka, tolerans, penuh perhatian, belas kasih, adil, terbuka. Semua itu secara integratif tercermin di dalam sikap, kata dan tindakan, yang harus dibelajarkan dan dibiasakan kepada anak-anak.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tujuan mata pelajaran seni budaya pendidikan dasar dan menengah adalah agar siswa memiliki kemampuan: (1) memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2) menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya, (3) menampilkan kreatifitas melalui seni budaya, (4) meningkatkan peran serta seni budaya pada tingkat lokal, regional, maupun global, (5) mengolah dan mengembangkan rasa humanistik, yang secara khusus berimplikasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berapresiasi, berkreasi, dan berinteraksi melalui kesenian. Dalam mapel seni budaya aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Artinya mapel seni budaya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya (lihat PP No. 19 tahun 2005). Statemen dalam kurikulum tersebut menunjukkan betapa pentingnya peran budaya dalam pembelajaran seni, terutama nilai-nilai budaya lokal. Untuk itu pemberian pengalaman estetik – melalui kegiatan apresiasi dan kreasi dipandang penting sebagai cara dalam pembelajaran pendidikan seni budaya di sekolah (lihat Jazuli, 2008).
Bicara tentang pembangunan pekerti sebuah bangsa akan senatiasa melibatkan tata nilai sosiokultural masyarakat-bangsa. Artinya pembangunan selain berorientasi pada manusia sebagai subyek pembangunan, human oriented development, juga merupakan pemberdayaan nilai budaya masyarakat-bangsa itu sendiri. Capaian dari pembangunan dan pemberdayaan semacam itu dapat berimplikasi terhadap proses pembentukan good governance dan masyarakat yang lebih demokratis. Untuk menuju pada capaian tersebut salah satu wahana dapat ditempuh melalui jagat pendidikan – khususnya pendidikan seni budaya.
Nusantara, bangsa ini sangat kaya ragam dan jenisnya seni budaya dengan bentuk (wujud) penampilannya baik seni tari, rupa, musik, dan teater. Sebut saja beragam wujud wayang, kethoprak, ludruk, saman, rodat, tayub, tor-tor, dan sebagainya. Semua bentuk dan jenis seni budaya seperti itu memuat nilai-nilai kearifan lokal yang tak terbantahkan. Dalam seni budaya budaya kita yang komunal merefleksikan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, penghormatan, ketaatan, dan lain-lain. Persoalannya adalah banyak jenis seni budaya budaya kurang memperoleh kepedulian yang memadai sehingga tidak sedikit seni budaya yang punah, hidup segan hidup mati tak mau, bahkan terlindas oleh seni budaya pop yang instan. Oleh karena itu upaya revitalisasi seni budaya menjadi sangat urgen dilakukan. Sebab menjaga keutuhan budaya bukanlah suatu tindakan sentimentalitas, bukan tindakan nostalgia, melainkan lebih merupakan tindakan manusia untuk menjaga integritas peradaban itu sendiri, jati diri.
Berdasarkan fenomena di atas dalam makalah ini akan diulas tentang pemberdayaan seni budaya melalui pendidikan seni budaya atau pendidikan seni yang berbasis budaya.
Pendidikan Seni Budaya.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan manusia yang sedang berkembang menuju pribadi yang mandiri untuk membangun dirinya sendiri maupun masyarakatnya. Pendidikan juga dapat dipandang sebagai upaya untuk membantu manusia ‘menjadi apa’ yang bisa diperbuat dan ‘bagaimana harus menjadi atau berada’. Oleh karena itu pendidikan harus bertolak dari pemahaman tentang hakekat manusia. Jagat pendidikan harus memuat adanya ‘pendidikan nilai’ yakni suatu proses pembudayaan yang selalu berusaha meningkatkan harkat dan martabat manusia – pendidikan memanusiakan manusia, pendidikan humaniora (Jazuli, 2008). Pendidikan nilai merupakan suatu aktivitas yang secara khusus bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai tertentu, seperti nilai religius (pendidikan agama), nilai moral (pendidikan kewarganegaraan), dan nilai estetik (pendidikan seni budaya). Dengan demikian pendidikan nilai harus menjadi bagian integral (bult in) yang berperan sentral dalam jagat pendidikan.
Pendidikan seni budaya pada hakekat adalah suatu proses kegiatan pembelajaran untuk mengembangkan nilai-nilai budaya yang bermakna di dalam diri manusia melalui pembelajaran seni budaya. Nilai-nilai yang dimaksud berkaitan dengan pengembangan imajinasi, intuisi, pikiran, kreativitas, dan kepekaan rasa; Kata ‘bermakna’ terkait dengan ‘kearifan’ dalam menyikapi hidup dan kehidupan agar lebih berarti dan bermanfaat bagi sesama dan lingkungannya. Untuk mencapai kearifan diperlukan persyaratan, di antaranya adalah pengetahuan yang luas (to be learned), kecerdikan (smartness), akal sehat (common sense), mengenali inti yang dipahami (insight), bersikap hati-hati (discreet), pemahaman norma dan kebenaran, dan kemampuan mencerna (to digest) pengalaman hidup (Buchori, 2000). Implikasi dari nilai-nilai bermakna adalah berwatak mulia dan berbudi luhur, bersikap jujur, rendah hati, disiplin, setia, terbuka, tolerans, penuh perhatian, belas kasih, adil, terbuka. Semua itu secara integratif tercermin di dalam sikap, kata dan tindakan, yang harus dibelajarkan dan dibiasakan kepada anak-anak.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tujuan mata pelajaran seni budaya pendidikan dasar dan menengah adalah agar siswa memiliki kemampuan: (1) memahami konsep dan pentingnya seni budaya, (2) menampilkan sikap apresiasi terhadap seni budaya, (3) menampilkan kreatifitas melalui seni budaya, (4) meningkatkan peran serta seni budaya pada tingkat lokal, regional, maupun global, (5) mengolah dan mengembangkan rasa humanistik, yang secara khusus berimplikasi untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berapresiasi, berkreasi, dan berinteraksi melalui kesenian. Dalam mapel seni budaya aspek budaya tidak dibahas secara tersendiri tetapi terintegrasi dengan seni. Artinya mapel seni budaya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya (lihat PP No. 19 tahun 2005). Statemen dalam kurikulum tersebut menunjukkan betapa pentingnya peran budaya dalam pembelajaran seni, terutama nilai-nilai budaya lokal. Untuk itu pemberian pengalaman estetik – melalui kegiatan apresiasi dan kreasi dipandang penting sebagai cara dalam pembelajaran pendidikan seni budaya di sekolah (lihat Jazuli, 2008).
Hamparan Teoretis
Untuk memberdayakan seni budaya dalam membangun pekerti bangsa, saya hendak bertolak dari dua asumsi. Pertama, hubungan manusia (guru/agen, seniman, pelaku budaya) dengan lingkungannya (sosial, budaya, dan mental) tidak pernah netral. Hal ini karena manusia memiliki kapasitas reflektif (berpikir dan berbudaya) dan bukan hanya naluriah semata sehingga manusia sering menjadi faktor konstitutif bagi lingkungannya (Berger dan Luckman, 1990). Kedua, manusia bukanlah hamba struktur dan kultur yang pasif melainkan agen yang aktif karena setiap pilihan tindakannya melibatkan kesadaran dan makna subjektif tertentu (Gidden, 1984). Guru misalnya, cara berpikir guru tidak berada dalam jagat vakum karena mereka memiliki dunia sosial yang syarat dengan nilai dan norma yang mengatur pola kehidupannya (social framework). Respons guru terhadap fenomena sosiokultural (dalam hal ini kurikulum) senantiasa dimediasi oleh interpretasinya sehingga mendorong perbedaan pada diri setiap guru dalam memaknai suatu fenomena sosiokulturalnya. Dalam situasi tertentu mereka akan terlibat pada suatu skenario, jaringan, pengambilan keputusan, nilai dan norma tertentu. Dengan demikian, suatu realitas sosiokultural tidak bersifat tunggal karena bergantung pada heterogenitas makna yang diberikan oleh para guru sebagai pelaku praktik sosiokulturalnya.
Berdasarkan asumsi di atas, guru (pelaku budaya) sebagai agen pembelajaran selayaknya memahami dahulu fungsi pendidikan seni bagi siswa pada tingkat sekolah dasar dan menengah. Pendidikan seni sekurang-kurang memuat fungsi sebagai berikut: (1) seni merupakan wahana komunikasi karena mengajarkan untuk berinteraksi, mengungkapkan pikiran, emosi maupun aspirasi siswa, (2) seni dapat membantu siswa dalam menumbuhkan kreatifitas dan membangun bakat, (3) seni membantu siswa memahami pelajaran yang lain karena berkesenian sering memberikan pemahaman (cara) yang berbeda, (4) belajar seni merupakan cara yang baik memahami peradaban, dan (5) belajar seni berarti melatih siswa menumbuhkah dan pengembangkan penilaian artistik dan kepekaan rasa.
Strategi Tindakan
Dalam kehidupan kesenian, termasuk dalam konteks pembelajaran/pemberdayaan, terdapat hubungan dialektik antara seni budaya, inovasi, partisipasi, dan profesi. Logika demikian, menandakan bahwa kehidupan seni tak terlepas dengan bidang kehidupan lainnya. Untuk memberdayakan seni budaya dalam membangun pekerti bangsa perlu landasan pemikiran yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) hubungan antara seni budaya dan pekerti memerlukan pengaturan atau sistem manajeman, (2) hubungan antara pekerti dan patisipasi membutuhkan rekayasa, (3) hubungan partisipasi dengan profesi dimediasi oleh legalitas, (4) hubungan seni budaya dan profesi dimediasi oleh tatanan normatif dan etika, (5) hubungan antara seni budaya dan partisipasi memerlukan subsidi, (6) hubungan antara pekerti dan profesi memerlukan sikap proaktif dan kreatifitas. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini.
Untuk memberdayakan seni budaya dalam membangun pekerti bangsa, saya hendak bertolak dari dua asumsi. Pertama, hubungan manusia (guru/agen, seniman, pelaku budaya) dengan lingkungannya (sosial, budaya, dan mental) tidak pernah netral. Hal ini karena manusia memiliki kapasitas reflektif (berpikir dan berbudaya) dan bukan hanya naluriah semata sehingga manusia sering menjadi faktor konstitutif bagi lingkungannya (Berger dan Luckman, 1990). Kedua, manusia bukanlah hamba struktur dan kultur yang pasif melainkan agen yang aktif karena setiap pilihan tindakannya melibatkan kesadaran dan makna subjektif tertentu (Gidden, 1984). Guru misalnya, cara berpikir guru tidak berada dalam jagat vakum karena mereka memiliki dunia sosial yang syarat dengan nilai dan norma yang mengatur pola kehidupannya (social framework). Respons guru terhadap fenomena sosiokultural (dalam hal ini kurikulum) senantiasa dimediasi oleh interpretasinya sehingga mendorong perbedaan pada diri setiap guru dalam memaknai suatu fenomena sosiokulturalnya. Dalam situasi tertentu mereka akan terlibat pada suatu skenario, jaringan, pengambilan keputusan, nilai dan norma tertentu. Dengan demikian, suatu realitas sosiokultural tidak bersifat tunggal karena bergantung pada heterogenitas makna yang diberikan oleh para guru sebagai pelaku praktik sosiokulturalnya.
Berdasarkan asumsi di atas, guru (pelaku budaya) sebagai agen pembelajaran selayaknya memahami dahulu fungsi pendidikan seni bagi siswa pada tingkat sekolah dasar dan menengah. Pendidikan seni sekurang-kurang memuat fungsi sebagai berikut: (1) seni merupakan wahana komunikasi karena mengajarkan untuk berinteraksi, mengungkapkan pikiran, emosi maupun aspirasi siswa, (2) seni dapat membantu siswa dalam menumbuhkan kreatifitas dan membangun bakat, (3) seni membantu siswa memahami pelajaran yang lain karena berkesenian sering memberikan pemahaman (cara) yang berbeda, (4) belajar seni merupakan cara yang baik memahami peradaban, dan (5) belajar seni berarti melatih siswa menumbuhkah dan pengembangkan penilaian artistik dan kepekaan rasa.
Strategi Tindakan
Dalam kehidupan kesenian, termasuk dalam konteks pembelajaran/pemberdayaan, terdapat hubungan dialektik antara seni budaya, inovasi, partisipasi, dan profesi. Logika demikian, menandakan bahwa kehidupan seni tak terlepas dengan bidang kehidupan lainnya. Untuk memberdayakan seni budaya dalam membangun pekerti bangsa perlu landasan pemikiran yang dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) hubungan antara seni budaya dan pekerti memerlukan pengaturan atau sistem manajeman, (2) hubungan antara pekerti dan patisipasi membutuhkan rekayasa, (3) hubungan partisipasi dengan profesi dimediasi oleh legalitas, (4) hubungan seni budaya dan profesi dimediasi oleh tatanan normatif dan etika, (5) hubungan antara seni budaya dan partisipasi memerlukan subsidi, (6) hubungan antara pekerti dan profesi memerlukan sikap proaktif dan kreatifitas. Untuk lebih jelasnya lihat gambar di bawah ini.
Pemaknaan dari bagan di atas dapat diasumsikan seperti berikut ini.
Seni budaya (materi pembelajaran), pekerti (visi,misi dan tujuan pembelajaran), partisipasi (masyarakat/siswa belajar), dan profesi (pelaku budaya/guru). Seni budaya yang dimanfaat untuk pendidikan pekerti memerlukan pengelolaan (manajemen) yang proporsional sesuai visi misi pembelajaran, artinya tidak sekedar apa adanya (sebagaimana adanya) tetapi juga perlu modifikasi, pengemasan atau penataan ulang. Misalnya dalam seni Tayub, hal-hal yang dipandang kurang etis dan tidak penting bisa dibuang, seni tari dapat berupa pemadatan ragam gerak maupun durasi waktunya. Visi dan misi pembelajaran agar dapat diterima oleh siswa belajar memerlukan rekayasa, artinya guru harus piawai dalam menggunakan cara (metode, pendekatan, teknik) agar tujuan pembelajaran seni dapat diserap atau diterima oleh para siswa.
Hubungan profesi (pelaku budaya, guru) dalam proses pembelajaran kepada siswa dimediasi oleh legalitas (bentuknya: kompetensi, pemahaman kurikulum, sertifikasi) dalam menjalankan tugas maupun fungsi masing-masing, artinya terkait dengan kedudukan dan peran baik sebagai guru maupun sebagai siswa. Hubungan antara profesi dengan seni budaya dimediasi oleh norma dan etika. Artinya guru dalam memanfaatkan seni budaya harus memahami nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Sebab di dalam seni budaya biasanya memiliki aturan-aturan tertentu yang harus ada (dipatuhi) dan dilakukan, seperti tari istana Jawa selalu diawali dengan sikap sembahan. Hal ini dimaksudkan agar guru dalam memanfaatkan seni budaya tidak terjadi kesalahpahaman memaknai nilai dan tujuan seni budaya tradisi, bahkan dianggap merusak tradisi.
Hubungan antara materi seni budaya dengan partisipasi (masyarakat/siswa belajar) dimediasi subsidi yang dapat berupa sarana prasarana, dukungan dari penentu kebijakan (penguasa), pendanaan, dan sebagainya. Hubungan antara profesi dengan pekerti memerlukan sikap dan perilaku yang proaktif dan kreatif. Misalnya guru yang memahami profesinya tentu tidak akan merasa kekurangan bahan ajar maupun metode mengajar karena guru semacam itu selalu berusaha mencari wawasan baru untuk menunjang profesinya.
Seni budaya (materi pembelajaran), pekerti (visi,misi dan tujuan pembelajaran), partisipasi (masyarakat/siswa belajar), dan profesi (pelaku budaya/guru). Seni budaya yang dimanfaat untuk pendidikan pekerti memerlukan pengelolaan (manajemen) yang proporsional sesuai visi misi pembelajaran, artinya tidak sekedar apa adanya (sebagaimana adanya) tetapi juga perlu modifikasi, pengemasan atau penataan ulang. Misalnya dalam seni Tayub, hal-hal yang dipandang kurang etis dan tidak penting bisa dibuang, seni tari dapat berupa pemadatan ragam gerak maupun durasi waktunya. Visi dan misi pembelajaran agar dapat diterima oleh siswa belajar memerlukan rekayasa, artinya guru harus piawai dalam menggunakan cara (metode, pendekatan, teknik) agar tujuan pembelajaran seni dapat diserap atau diterima oleh para siswa.
Hubungan profesi (pelaku budaya, guru) dalam proses pembelajaran kepada siswa dimediasi oleh legalitas (bentuknya: kompetensi, pemahaman kurikulum, sertifikasi) dalam menjalankan tugas maupun fungsi masing-masing, artinya terkait dengan kedudukan dan peran baik sebagai guru maupun sebagai siswa. Hubungan antara profesi dengan seni budaya dimediasi oleh norma dan etika. Artinya guru dalam memanfaatkan seni budaya harus memahami nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Sebab di dalam seni budaya biasanya memiliki aturan-aturan tertentu yang harus ada (dipatuhi) dan dilakukan, seperti tari istana Jawa selalu diawali dengan sikap sembahan. Hal ini dimaksudkan agar guru dalam memanfaatkan seni budaya tidak terjadi kesalahpahaman memaknai nilai dan tujuan seni budaya tradisi, bahkan dianggap merusak tradisi.
Hubungan antara materi seni budaya dengan partisipasi (masyarakat/siswa belajar) dimediasi subsidi yang dapat berupa sarana prasarana, dukungan dari penentu kebijakan (penguasa), pendanaan, dan sebagainya. Hubungan antara profesi dengan pekerti memerlukan sikap dan perilaku yang proaktif dan kreatif. Misalnya guru yang memahami profesinya tentu tidak akan merasa kekurangan bahan ajar maupun metode mengajar karena guru semacam itu selalu berusaha mencari wawasan baru untuk menunjang profesinya.
Penutup
Pemanfaatkan seni budaya sebagai materi pembelajaran untuk membangun pekerti bangsa menjadi relevan ketika kita mulai merasa kehilangan identitas dan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Lebih ironis, bila kita dihadapkan pada serbuan budaya instan, pop, dan budaya global. Media komunikasi seperti koran, radio, internet, dan televisi menjadi media telah masuk ke ruang-ruang privasi kita. Budaya instan dan global itu dengan mudah memengaruhi diri anak-anak kita, baik pada tataran kognitif, afektif, dan lambat laun akan sampai pada ranah psikomotorik. Oleh karena itu penguatan nilai-nilai (seni) budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sangat urgen dilakukan dan dikembangkan melalui berbagai cara, media, dan dilandasi dengan semangat untuk meneguhkan identitas lokal dalam percaturan global.
Pemanfaatkan seni budaya sebagai materi pembelajaran untuk membangun pekerti bangsa menjadi relevan ketika kita mulai merasa kehilangan identitas dan nilai-nilai budaya bangsa sendiri. Lebih ironis, bila kita dihadapkan pada serbuan budaya instan, pop, dan budaya global. Media komunikasi seperti koran, radio, internet, dan televisi menjadi media telah masuk ke ruang-ruang privasi kita. Budaya instan dan global itu dengan mudah memengaruhi diri anak-anak kita, baik pada tataran kognitif, afektif, dan lambat laun akan sampai pada ranah psikomotorik. Oleh karena itu penguatan nilai-nilai (seni) budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sangat urgen dilakukan dan dikembangkan melalui berbagai cara, media, dan dilandasi dengan semangat untuk meneguhkan identitas lokal dalam percaturan global.
Pustaka Acuan
Berger, Peter L. & Luckmann Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Terjemahan Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.
Buchori, Muchtar. 2000. “Peran Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”. Dalam Sindhunata (ed). Menggagas Paradigma baru Pendidikan: demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration. Cambridge: Polity Press.
Jazuli, M. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. Surabaya: UNESA Press.
Berger, Peter L. & Luckmann Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Terjemahan Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.
Buchori, Muchtar. 2000. “Peran Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik di Indonesia”. Dalam Sindhunata (ed). Menggagas Paradigma baru Pendidikan: demokrasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society: Outline of The Theory of Structuration. Cambridge: Polity Press.
Jazuli, M. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. Surabaya: UNESA Press.
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar